Bentuk-bentuk
Kerusakan Lingkungan Hidup dan Faktor Penyebabnya
Meningkatnya jumlah penduduk serta kebutuhan tersier yang semakin banyak
sebagai akibat perkembangan teknologi yang pesat, telah menyebabkan tekanan
terhadap sumber daya alam dan lingkungan semakin berat. Jumlah penduduk dunia
yang sekarang telah lebih dari 6 miliar jiwa, tidak hanya memerlukan kebutuhan
primer dan sekunder, akan tetapi juga memerlukan kebutuhan tersier dalam jumlah
besar. Pertumbuhan penduduk dalam jumlah besar, telah banyak mengubah lahan
hutan menjadi lahan permukiman, pertanian, industri, dan sebagainya. Hal ini
mengakibatkan luas lahan hutan terus mengalami penyusutan dari tahun ke tahun,
terutama di negara-negara miskin dan negara berkembang. Demikian pula kebutuhan
tersier yang terus mengalami peningkatan, baik dalam jumlah maupun kualitasnya,
menyebabkan industri-industri berkembang dengan pesat. Perkembangan industri
yang pesat, membutuhkan sumber daya alam berupa bahan baku dan sumber energi
yang sangat besar pula. Sebagai akibatnya, sumber-sumber bahan baku dan energi
terus dikuras dalam jumlah besar. Cadangan sumber daya alam di alam semakin
merosot, hutan-hutan semakin rusak karena banyaknya pohon yang diambil untuk
kebutuhan bahan baku industri, apalagi bila tidak diimbangi dengan usaha
reboisasi akan menimbulkan bencana pencemaran terhadap udara, air, dan tanah,
yang akhirnya menganggu kehidupan manusia.
Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia tahun 1972 di Stockholm
(Swedia), telah mengangkat masalah lingkungan hidup tidak hanya menyangkut
masalah suatu negara akan tetapi merupakan masalah dunia. Konferensi yang
diadakan pada tanggal 5-16 Juni 1972 di Stockholm, diikuti oleh 113 negara dan
puluhan peninjau, merupakan pertemuan besar dan sangat penting bagi masa depan
lingkungan hidup manusia. Dari salah satu hasil konferensi Stockholm itu,
dibentuklah satu badan PBB yang menangani masalah-masalah lingkungan yang
disebut “United Nations Environment Programme” atau UNEF. Konferensi juga
menetapkan tanggal 5 Juni sebagai “Hari Lingkungan Hidup Sedunia”.
Pencemaran lingkungan yang terjadi di suatu negara, akan berdampak pula
pada negara lain bahkan dunia. Untuk itu selalu diperlukan kerja sama yang baik
antara negara-negara di dunia untuk menangani masalah lingkungan. Kerusakan
hutan di Indonesia tidak hanya berpengaruh terhadap keadaan iklim di Indonesia,
akan tetapi berakibat pula terhadap perubahan iklim global (dunia secara
menyeluruh).
Peningkatan karbon dioksida (CO2) di udara menyebabkan efek
rumah kaca. Efek rumah kaca adalah alih bahasa dari Greenhouse effect.
Greenhouse adalah rumah atau bangunan yang atap dan dindingnya terbuat dari
kaca, hanya rangkanya terbuat dari besi atau kayu. Rumah ini bukan untuk tempat
tinggal tetapi digunakan oleh petani di daerah dingin atau subtropik untuk
bercocok tanam. Walaupun suhu di luar sangat dingin pada musim gugur dan musim
dingin, tetapi di dalam rumah kaca udaranya tetap hangat sehingga tanaman di
dalamnya tetap hijau. Suhu udara yang hangat di dalam rumah kaca walaupun pada
musim gugur dan musim dingin dapat dijelaskan sebagai berikut.
Radiasi sinar matahari pada siang hari menembus kaca masuk ke dalam rumah
kaca. Radiasi sinar matahari yang diterima benda dan permukaan rumah kaca
dipantulkan kembali berupa sinar infra merah. Tetapi pantulan tersebut tertahan
oleh dinding dan atap kaca sehingga panas yang dapat keluar dari rumah kaca itu
hanya sebagian kecil sedangkan sebagian besar terkurung di dalam rumah kaca.
Akibatnya udara di dalam rumah kaca menjadi hangat walaupun di luar udaranya
sangat dingin.
Di permukaan bumi yang berfungsi sebagai atap kaca adalah gas-gas yang ada
di atmosfer. Atmosfer bumi mengandung berbagai macam gas dan partikel-partikel
berupa benda-benda padat seperti debu. Di antara berbagai gas di udara, yang
berfungsi sebagai gas rumah kaca antara lain karbon dioksida (CO2),
metana (CH4), gas nitrogen, ozon (O3), Klorofluorokarbon
(CFC), dan lain-lain. Di antara gas-gas tersebut yang paling dominan berfungsi
sebagai rumah kaca adalah karbon dioksida (CO2) yang disebut pula
dengan gas rumah kaca.
Perkembangan industri yang begitu pesat, telah mengganggu keseimbangan gas
karbon dioksida di udara. Pembakaran minyak tanah, bensin, solar, batu bara,
untuk menggerakkan pabrik-pabrik. Demikian pula kendaraan bermotor yang
menggunakan bensin atau solar sebagai bahan bakar, pembakaran lahan dan
kebakaran hutan, dan tain-lain, telah menambah jumlah karbon dioksida di udara.
Gas rumah kaca sebenarnya sangat diperlukan dalam mengatur suhu di
permukaan bumi, yaitu menyerap dan memantulkan kembali sinar matahari. Bila gas
ini tidak ada di udara beserta dengan gas-gas lainnya yang berfungsi sebagai
gas rumah kaca maka sinar matahari yang diterima bumi akan di pantulkan
semuanya ke ruang angkasa sehingga pada malam hari suhu di permukaan bumi
sangat dingin, dan pada siang hari sangat panas sekali seperti di bulan
sehingga tidak dapat dijadikan tempat tinggal.
Masalah gas rumah kaca muncul karena kegiatan manusia semakin banyak
menghasilkan gas rumah kaca, terutama karbon dioksida. Menurut hasil penelitian
para ahli, semakin banyak gas karbon dioksida dilepaskan ke udara dari hasil
kegiatan manusia, akan semakin mempercepat kenaikan suhu di permukaan bumi.
Kenaikan suhu di permukaan bumi akan mempengaruhi iklim di bumi, dan akan
berdampak negatif pada kehidupan di muka bumi.
Suhu global (secara keseluruhan) rata-rata meningkat 0,6 °C. Hal ini
berpengaruh pula terhadap iklim global yaitu iklim di seluruh permukaan bumi.
Kenaikan suhu di permukaan bumi menyebabkan lapisan es yang berada di kutub
banyak yang mencair, dan pada akhirnya dapat menenggelamkan kawasan-kawasan
yang rendah seperti dataran-dataran pantai, dan pulau-pulau yang rendah.
Peningkatan gas karbon dioksida yang terus berlangsung, dan tanpa ada
tindakan manusia untuk menguranginya, diramalkan 100 tahun yang akan datang suhu
bumi akan naik antara 3°-4°C. Kenaikan suhu sebesar ini akan menyebabkan
perubahan iklim yang cukup berarti, dan akan disertai pula dengan berbagai
bencana alam seperti angin badai, naiknya permukaan laut, mencairnya es di
puncak-puncak gunung dan es di kutub, punahnya flora dan fauna yang tidak tahan
terhadap perubahan, dan sebagainya.
Permasalahan
pemanasan global seperti diuraikan di atas, tentunya sangat mengkhawatirkan
dunia Internasional. Untuk membicarakan hal ini, diadakan “Konvensi Perubahan
Iklim” (United Nations Frame Work Convention on Climate Change) di Kota Kyoto
(Jepang) pada tahun 1997 yang dihadiri oleh 170 negara untuk membahas
pembatasan-pembatasan gas-gas penyebab efek rumah kaca. Pada sidang tersebut,
para ilmuwan PBB melaporkan bahwa pemanasan global akan meningkatkan penyakit,
mengakibatkan kegagalan panen, dan meningginya permukaan laut.
Pada
waktu kebakaran hutan secara meluas di Indonesia beberapa waktu yang lalu telah
terjadi emisi gas karbon dioksida terbesar yang dihasilkan dari kebakaran
tersebut.
Kita
harus ingat istilah “Hanya Satu Bumi”, yang berarti bumi tidak membedakan
apakah emisi gas karbon dioksida itu berasal dari negara A atau B, dari negara
maju atau negara berkembang, tetapi yang jelas peningkatan gas karbon dioksida
terjadi di bumi.
Pertemuan
Kyoto merupakan langkah awal untuk mengurangi polusi karbon dioksida di udara
dengan mengurangi penggunaan bahan bakar seperti minyak bumi, gas alam, batu
bara, yang disebut dengan bahan bakar fosil dan menggantikannya dengan bahan
bakar yang dapat diperbarui, misalnya sumber energi yang berasal dari tenaga
surya dan angin. Selain itu, pabrik-pabrik yang menggunakan energi fosil perlu
diganti dengan pabrik-pabrik baru yang berteknologi tinggi, yang lebih bersih
terhadap lingkungan. Permasalahannya sekarang adalah biaya yang harus
dikeluarkan untuk melakukan pengurangan gas rumah kaca tersebut sangat besar
sekali, mencapai ratusan bahkan ribuan miliar dollar. Suatu nilai yang sangat
menakjubkan.
Untuk
mengurangi gas rumah kaca, diperlukan dana yang sangat besar.
Kendaraan-kendaraan bermotor yang selama ini menggunakan bahan bakar minyak
atau gas, bila diganti dengan energi lain menyebabkan harga kendaraan menjadi
sangat mahal sehingga konsumen akan keberatan. Hal ini merupakan kendala utama
untuk menuju program langit biru, yaitu program yang menjadikan udara bersih
dari polusi, masih jauh dari harapan.
Masalah
lingkungan hidup sebenarnya tidak hanya pada emisi gas karbon dioksida.
Permasalahan lingkungan hidup cukup kompleks. Penebangan hutan yang menyebabkan
banjir, pencemaran terhadap air oleh limbah-limbah industri, pembuangan sampah
ke dalam sungai (termasuk sampah rumah tangga), pencemaran terhadap tanah, dan
sebagainya, merupakan ancaman bagi kehidupan manusia.
Ancaman
banjir setiap musim hujan di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia,
adalah akibat dari perbuatan manusia sendiri yang menebang hutan untuk mengejar
keuntungan sesaat. Berbagai wilayah di Indonesia setiap musim hujan dilanda
banjir dan tanah longsor, baik kota maupun luar kota.
Penataan
ruang kota yang kurang memperhatikan dampak lingkungan, serta kehancuran
hutan-hutan di daerah tangkapan air, menjadi penyebab utama banjir di Jakarta.
Penanggulangan
banjir seperti di Jakarta dan kota-kota lainnya, tidak hanya diperlukan
penataan di dalam kota seperti pembuatan saluran pembuangan air dan tempat
penampungan air, akan tetapi daerah tangkapan air hujan di daerah hulu sungai
perlu di tata kembali, hutan-hutan yang rusak perlu direhabilitasi.
Luas
hutan di Pulau Jawa telah berada jauh di bawah luas hutan yang ideal yaitu ±
40% dari luas wilayah. Luas hutan di Jawa Barat (termasuk Provinsi Banten)
hanya tinggal 21%, Jawa Tengah 20%, Jawa Timur 28%, rata-rata luas hutan di
Pulau Jawa tinggal 23%. Demikian pula halnya hutan di pulau-pulau lainnya
seperti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain, kerusakan hutan terus
bertambah luas karena faktor manusia. Satwa-satwa yang ada di dalam hutan
hidupnya semakin terancam dan merana karena habitat mereka yang merupakan
tempat hidupnya telah dirusak oleh manusia untuk memperoleh keuntungan.
Indonesia
memiliki hutan mangrove terluas di dunia yaitu sekitar 3,5 juta hektar dari
total luas hutan mangrove dunia sebesar 15 juta hektar. Tetapi luasnya terus
mengalami kemerosotan karena telah berubah fungsi. Hutan mangrove yang
berfungsi sebagai benteng terhadap abrasi (kikisan air laut), serta tempat
hidup dan bertelur berbagai jenis ikan laut, banyak yang telah berubah fungsi
menjadi tambak-tambak ikan, dan kepentingan-kepentingan lainnya. Kayu-kayu di
hutan mangrove ditebangi untuk dijual dan dijadikan kayu arang. Akibatnya
kerusakan hutan bakau yang terus meningkat tidak terhindarkan. Di pantai utara
Pulau Jawa diperkirakan 90% telah rusak, demikian pula halnya pada
pantai-pantai lainnya walaupun belum seberat kerusakan hutan bakau di Pantai
Utara Jawa.
Malapetaka
alam seperti intrust (penyusupan) air laut ke daratan, abrasi dan banjir sulit
dihindari. Demikian pula kegiatan masyarakat pantai yang menangkap udang, ikan,
kepiting, dan lain-lain, akan semakin sulit akibat rusaknya lingkungan hutan
mangrove.
Tindakan-tindakan
manusia di atas telah menimbulkan dampak yang sangat buruk bagi lingkungan, dan
pada akhirnya akan memberikan dampak buruk pula terhadap manusia sendiri.
Kerusakan
lingkungan yang disebabkan berbagai faktor sebagaimana yang telah diuraikan
sebelumnya, akan menimbulkan berbagai dampak yang sangat merugikan dan
mengganggu kehidupan manusia. Flora dan fauna akan banyak yang punah,
meningkatnya penyakit pada manusia, penurunan hasil panen, kemarau yang
berkepanjangan. Atau sebaliknya, curah hujannya sangat tinggi yang menimbulkan
banjir besar, kekeringan air pada musim kemarau, rusaknya terumbu karang, dan
sebagainya.
Manusia
harus sadar betapa pentingnya arti lingkungan hidup bagi kehidupan. Keserakahan
yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup harus dibayar dengan sangat mahal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar